Sejarah Candi Borobudur Warisan Yang Tak Lekang Oleh Waktu
Sejarah Candi Borobudur Warisan Yang Tak Lekang Oleh Waktu – Rencana pemerintah menaikkan harga tiket objek wisata sejarah Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, menuai banyak pro dan kontra di masyarakat. Menteri Koordinator Luhut Binsar Pandjaitan dalam Bidang Investasi (Marinves) dan Kemaritiman. Mengumumkan Harga baru ke Borobudur untuk warga setempat adalah Rp 750.000 per orang.
Harga tersebut diketahui 15 kali lebih mahal dibandingkan harga tiket yang digunakan saat ini yakni hanya Rp 50.000 per orang. Sementara itu, pemerintah juga berencana menaikkan biaya bagi wisatawan asing menjadi US$100 atau sekitar Rp. 1,4 juta. Meski begitu, pelajar mendapatkan harga tiket yang masih cukup terjangkau yaitu Rp 5.000 per orang.
Pemerintah mengakui rencana ini merupakan upaya pelestarian atau pelestarian situs bersejarah. Kenaikan harga tiket juga akan dibarengi dengan pemberlakuan pembatasan jumlah wisatawan sekitar 1.200 orang per hari.
Rencana kenaikan harga tiket masuk Candi Borobudur sebagai salah satu peninggalan penting dinasti Syailendra pun mendapat komentar dari berbagai pakar sejarah, salah satunya Guru Besar Sejarah UGM Jogja, Prof.Dr.Sri Margana, M. Bersenandung. Sri Margana memandang kenaikan harga tiket hanyalah strategi pemerintah yang tidak ingin merugi. Sebab, kenaikan tarif tersebut bertepatan dengan rencana pembatasan jumlah pengunjung dengan alasan melestarikan warisan budaya.
Candi Borobudur sendiri mempunyai sejarah panjang di nusantara. Situs ini merupakan bukti sejarah penting mengenai perkembangan agama Budha di Indonesia. Nah berikut pembahasan sejarah Candi Borobudur dari berbagai sumber terpercaya. Yuk, simak ulasannya!
Sejarah Candi Borobudur Warisan Yang Tak Lekang Oleh Waktu
Membahas asal usul dan sejarah Candi Borobudur memang diketahui mengandung cerita yang panjang. Candi Borobudur diyakini pertama kali didirikan pada tahun 750-842 M sama Penguasa Dinasti Syailendra. Metode pengembangan Candi Borobudur diprediksi dikerjakan dengan gotong royong dan selangkah demi selangkah sebagai wujud kebaikan dalam ajaran agama Buddha.
Sedangkan menurut situs Pusat Konservasi Borobudur, sejarawan JG de Casparis menyatakan bahwa pendiri Candi Borobudur adalah Raja Samaratungga yang memerintah pada periode 782 – 812 M, pada masa Dinasti Syailendra. Candi Borobudur didirikan untuk memuliakan agama Budha Mahayana.
Namun menurut jurnal Pesona Candi Borobudur sebagai Wisata Budaya di Jawa Tengah karya Reza Ayu Dewanti, Candi Borobudur pada dasarnya dibangun sebagai bentuk pemuliaan raja-raja Syailendra (775 – 850 M) yang telah dipertemukan kembali dengan dewa asal mereka. telah datang.
Sejarah Peter Carey mengatakan Candi Borobudur merupakan monumen keagamaan yang digunakan sebagai tempat kontemplasi. Selain itu, Candi Borobudur melambangkan perjalanan Sang Buddha dan merupakan simbol hubungan seorang raja dengan rakyatnya.
Hingga sekarang ini tidak ada asal usul tercatat yang mengatakan pada waktu Candi Borobudur dibangun dan rentang waktu hingga pembangunannya. Penetapan kapan Candi Borobudur didirikan masih merupakan hasil penafsiran prasasti bernomor yang diyakini dibuat pada tahun 824 Masehi. Ditambah lagi ada prasasti Sri Kahulunan yang diperkirakan dibuat pada tahun 842 Masehi.
Menurut Balai Konservasi Borobudur, struktur Candi Borobudur terdiri dari sembilan teras dan satu stupa induk di puncaknya. Kesembilan teras tersebut terdiri dari enam teras dengan denah persegi dan tiga teras dengan denah melingkar. Menurut legenda, arsitek yang merancang Candi Borobudur adalah seorang bernama Gunadharma. Namun, secara historis kebenarannya belum bisa diketahui secara pasti.
Arsitektur Candi Borobudur Yang Mewakili Ajaran Agama Buddha
Jalan pengembangan Candi Borobudur menghabiskan waktu yang amat lama hingga ratusan tahun sampai alhasil selesai pada era pemerintahan Raja Samaratungga, 825 Masehi. Candi Borobudur dibangun dalam lima tahap. Sesuai dengan catatan sejarah yang ada, Candi Borobudur merupakan simbol alam semesta.
Bentuk arsitektur Candi Borobudur yang berbentuk setengah bola mewakili ajaran agama Buddha yaitu tiga tingkatan di alam semesta, yaitu Kamadhatu yang berisi relief manusia dengan hawa nafsunya (dunia nafsu) dan Rupadhatu yang menggambarkan manusia sedang berjuang melawan nafsunya. keinginan (dunia bentuk). Arupadhatu (dunia yang belum berbentuk). Sedangkan pada tingkat ketiga, Arupadhatu (dunia yang belum berbentuk) tidak lagi mempunyai hiasan atau relief sebagai wujud keterikatan pada unsur dunia.
Ketiga tingkatan ini bisa dilihat dalam Candi Borobudur berlandaskan berbagai Siluet yang ada. Relief yang ada panjangnya mencapai 3 meter. Selain itu, terdapat 1.460 frame yang diselingi dengan beberapa area pemisah sekitar 1.212 buah.
Di bagian atas deretan bingkai terdapat semacam jahitan yang memanjang dan memanjang hingga satu setengah kilometer. Jahitannya sendiri mempunyai hiasan berwujud seperti sambungan bunga teratai.
Selain itu, bagian atasnya juga dihiasi 1.476 simbar berbentuk segitiga. Pada tingkat Kamadhatu dan Rudhatu terdapat 1.472 stupa dan 432 arca Buddha yang mengelilingi Candi Borobudur dari segala arah. Setelah itu di tingkatan terakhir ditemukan 72 stupa yang mengelilingi Pusat stupa di puncaknya.
Berdasarkan situs Cagar Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan ada beberapa tafsir lain yang mengatakan bahwa Candi Borobudur tidak hanya berlatar belakang agama Budha. Bangunan Candi Borobudur diyakini banyak dipengaruhi oleh konsep pemujaan leluhur yang diwujudkan dalam bentuk bangunan bertingkat.
Oleh karena itu, candi yang pembangunannya diperkirakan membutuhkan sekitar dua juta keping batu ini memiliki banyak fungsi, mulai dari sebagai monumen untuk mengagungkan nenek moyang pendiri Dinasti Syailendra hingga mengagungkan agama Buddha.
Candi Borobudur yang Terbengkalai
Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Kemegahan Candi Borobudur sendiri sempat terbengkalai dan hilang akibat tertimbun tanah dan abu vulkanik letusan Gunung Merapi.
Para ahli menduga Candi Borobudur terbengkalai akibat bencana Gunung Merapi yang meletus sekitar tahun 1006 Masehi. Saat itu Raja Mpu Sindok sedang fokus memindahkan ibu kota Kerajaan Medang ke wilayah Jawa Timur. Tak heran jika Candi Borobudur diperkirakan telah ditinggalkan sekitar tahun 928 M dan 1006 M.
Perpindahan ibu kota menyebabkan masyarakat meninggalkan Candi Borobudur. Hingga sekitar tahun 1365 M, Mpu Prapanca dalam naskah berjudul Negarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit. Teks tersebut menyebutkan “Vihara di Budur.”
Seiring berjalannya waktu hingga abad ke-18, Candi Borobudur sudah tidak digunakan lagi. Dalam banyak teks berbahasa Jawa, salah satunya berjudul Serat Centhini menyebutkan letak candi ini sebagai bukit atau tempat yang dapat membawa kematian atau kesialan. Hal ini tandanya bahwa area ini telah Dilepaskan menjadi lokasi suci umat Buddha.
Candi Borobudur diketahui kembali sejak tahun 1814. Saat itu Indonesia masih berada di bawah kekuasaan Inggris. Dikutip dari situs Pusat Konservasi Borobudur, Sir Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris, saat berkunjung ke Semarang mendapat informasi bahwa di kawasan Kedu, ditemukan gambar bebatuan di perbukitan sekitar Desa Bumisegoro.
Upaya Menyelamatkan Candi Borobudur
Selanjutnya Raffles memerintahkan seorang Belanda bernama Cornelius untuk memimpin pembersihan lokasi yang masih tertutup tanah, semak dan pepohonan. Cornelius juga mengajak 200 warga sekitar untuk menebang pohon dan menebang semak. Penggalian dilakukan selama dua bulan, namun ada beberapa bagian yang tidak bisa digali karena berpotensi roboh.
Mulai tahun 1817, banyak penggalian kecil dilakukan, namun hasilnya tidak pernah didokumentasikan. Hingga tahun 1835, pembersihan situs bersejarah Candi Borobudur rupanya dilakukan oleh seorang Residen di daerah Kedu bernama CL Hartman. Tak hanya itu, Hartman juga melakukan kegiatan penelitian terkait situs tersebut. Namun laporan terkait penelitian tersebut tidak pernah dipublikasikan.
Sejarawan dan arkeolog sekaligus Ketua Kedua Pemugaran Candi Borobudur, Soekmono, mengatakan dalam bukunya yang berjudul Satu Abad Upaya Menyelamatkan Candi Borobudur (1991), upaya memotret relief Borobudur sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1845 oleh seorang fotografer bernama Schaefer.
Namun karena foto Schaefer dinilai kurang memuaskan, maka dokumentasi relief Borobudur digambar langsung oleh tangan seorang prajurit bernama FC Wilsen. Sedangkan penjelasan Borobudur ditulis oleh Brumund telah diedit hingga menjadi sempurna oleh Leemans sebagai monografi resmi pada tahun 1873.